Air Mata Marapi

Air Mata Marapi

Oleh: Yusrizal Firzal

Kabut tebal masih saja menyelimuti Marapi. Melingkar laksana untaian berlian terkalung indah di leher jenjang empunyanya. Menutupi pekatnya ceruk, menggigilkan daun-daun yang terlelap di ranting-ranting pohon. Membasahi perdu yang tumbuh tak beraturan, membentuk semak menutupi setiap jengkal tanah di kaki gunung.

Di balik gunung sana, fajar telah menyingsing. Memendarkan kemilau cahaya kemerahan di ujung timur cakrawala. Sedikit demi sedikit mulai memberikan kehangatan kepada bumi yang baru saja tertidur di kegelapan malam. Menggelitik si kuriak mengeluarkan kokokannya, merayu si pipit bernyanyi riang dengan cicitannya.

Dikejauhan samar-samar terlihat rumah-rumah penduduk tersusun berkelompok. Dipisah  jalan setapak yang membentang laksana aliran-aliran anak sungai yang mengucur deras dari mata air di kaki gunung. Diselingi oleh petak-petak sawah dan kebun hijau yang memberikan kesegaran bagi mata yang memandangnya. Berundak-undak membentuk anak tangga. Landai di satu bagian dan kelihatan terjal dibagian lain. Mengikuti lekuk alur si pasak bumi ini.

Subuh baru saja berlalu. Beberapa orang kelihatan keluar dari masjid. Mukena masih terpasang di tubuh mereka. Sejenak berdiri di pelataran, berhadapan satu sama lain. Membicarakan suatu masalah yang baru saja menimpa salah satu tetangga di jorong mereka. Semilir angin dingin menggerubungi mereka. Sesekali keluar asap tipis dari mulut yang berbicara. Tak lama berselang, merekapun membubarkan diri. Pulang ke rumah masing-masing.

Kabut perlahan mulai menipis, seiring semakin berpendarnya cahaya matahari di balik gunung. Seorang pemuda berjalan perlahan menuju ketinggian, ke arah kaki gunung. Mengikuti alur jalan setapak yang berkelok. Sesekali berjingkat menghindari semak berduri yang tumbuh liar melintasi jalan setapak. Menaiki enam hingga sepuluh anak tangga. Sarung masih saja melilit di lehernya. Memberi sedikit kehangatan di tengah dingin yang menggigilkan tulang. Langkahnya berhenti ketika dihadapannya terdapat puluhan nisan berbaris berjajar.

”Assalamua’laikum ya ahlal kubur” terdengar lirih suaranya. Sesaat kemudian dia melangkah ringan melintasi pendam pekuburan. Melewati satu persatu nama yang tertulis di batu yang menghujam ke perut bumi. Sesekali ia berhenti, begitu ia kenal nama yang tertulis di batu nisan. Melihat sekilas dan mengingat kenangan dengan nama-nama itu.

Pemuda itu berhenti melangkah. Empat buah gundukan tanah yang memanjang sejajar, berada tepat dihadapannya. Tanahnya masih merah. Masih terdapat taburan bunga yang mulai layu diatasnya. Aroma mawar masih begitu terasa. Gundukan itu dikurung oleh deretan batu sebesar kepala, disusun rapi sebentuk persegi. Terdapat  potongan dahan kayu yang ditancapkan di bagian atas dan bawah setiap gundukan.

Sesaat kemudian pemuda itu jongkok. Mata sembabnya mengarah ke depan. Menyusuri setiap jengkal gundukan tanah. Menerobos ke dalam pori-pori tanah hingga mencapai jasad orang-orang yang begitu dicintainya. Terbaring kaku, menghadap kiblat, berselimutkan kafan. Hatinya kembali perih. Buliran bening mulai menumpuk di pelupuk matanya. Perlahan meluncur, menyusuri pori-pori dan lekuk tulang pipi. Membasahinya…

***

”Kepada wisudawan dan wisudawati, dimohon segera mengambil tempat, karena acara wisuda segera kita mulai” panggilan itu terdengar jelas dari lenggekan speaker yang tersusun rapi di kiri dan kanan pendopo.

Entah kali keberapa panggilan itu didengarnya. Namun Havid tidak beranjak dari tempatnya semula. Berdiri di gerbang kampus ungu. Tangannya masih saja memegang toga. Memakai baju hitam besar setinggi lutut, dengan kerah berwarna cerah serta kalung iluni di lehernya. Menutupi kemeja putih dan celana panjang hitam. Resah menunggu. Sesekali melihat ke arah jalan raya. Mobil yang membawa orang tua dan adik-adiknya seharusnya sudah sampai dari tadi. Namun, hingga acara wisuda dimulai, belum juga kelihatan.

Dibukanya kembali SMS dari ayahnya. ”Kami alah brangkek. Kini sadang di Pdg pnjang. Pakai mobil pak Datuak. Iwan sopirnyo”. SMS itu diterimanya pagi tadi, ketika ia mengikuti acara wisuda tingkat Universitas di GOR.

Semenjak keluar dari GOR itu, Havid terus berusaha menghubungi ayahnya, namun tak ada jawaban. ”Ah… Barangkali gak kedengaran oleh Ayah”. Demikian pikirnya waktu itu. Diputuskannya untuk mengirimkan sms menanyakan sudah sampai dimana mereka. Sesaat kemudian, Havid melangkah gontai menuju kampus ungu menyusul kawan-kawannya untuk mengikuti upacara penyerahan ijazah di Fakultas.

Sudah lebih seperempat jam Havid menunggu di Gerbang. Kawan-kawannya masih saja sibuk berfoto dengan keluarga mereka.  Dia meninggalkan mereka sesaat setelah berfoto bersama. Entah berapa kali blizt kamera, mengedip ke matanya. Hatinya mulai diliputi gelisah. Seharusnya sudah satu jam yang lalu, rombongan keluarganya tiba. Pikirannya was-was. ”Jangan-jangan…. Ahh…” Ditepisnya pikiran itu dengan kemungkinan jalanan yang macet.

”Bang, duduk lai. Acara ka di mulai!” Sebuah suara setengah berteriak mengejutkan Havid. Pandangannya segera beralih ke sumber suara. Seorang mahasiswa berjaket almamater, berjalan mengarah kepadanya. Sebuah kokarde dengan tulisan Ardi Wijaya, Sie Acara, melingkar di leher mahasiswa itu. Ardi adalah juniornya. Mereka sudah saling kenal semenjak SMA. Sewaktu Havid menjabat ketua Osis, Ardi merupakan salah satu pengurusnya.

”Sebentar lagi ya Di, abang masih menunggu keluarga.” sekilas pandangan Havid tertuju ke pendopo. Samar-samar dilihatnya, kursi untuk wisudawan hampir terisi semua. Keluarga wisudawanpun sudah mulai tertib dengan mengisi tempat duduk yang telah disediakan. Sebelumnya mereka berseliweran di sekitar pendopo. Sibuk dengan aktivitas masing-masing. Berita panggilan dari MC kembali terdengar.

”Bang, pergilah dulu. Ndak enak dengan wisudawan yang lain. Sebentar lagi, rombongan Dekan segera memasuki pendopo. Biar saya yang menunggu keluarga abang. Saya akan berdiri di bagian belakang pendopo, sehingga bisa melihat ke arah gerbang ini” Ardi berusaha meyakinkan Havid. Tangannya menepuk-nepuk pelan pundak seniornya itu.

Havid menatap mata Ardi sekilas. Sebuah anggukan kecil menyertai senyuman yang mengambang dari bibirnya. Perlahan, mereka berjalan ke arah pendopo seraya bercakap-cakap ringan. Sesekali terdengar celetukan ringan dari Ardi, yang memancing Havid tuk sekedar tertawa ringan.

Sesaat kemudian Havid telah duduk dikursinya. Baju telah dirapikan, Togapun telah terpasang di kepala. Dilayangkan pandangannya ke sekitar. Semua kursi untuk wisudawan telah terisi. Di belakang pendopo, ia melihat Ardi bersama tiga orang panitia lainnya, sibuk mengatur keluarga wisudawan yang masih saja berseliweran. Ia mengangguk pelan begitu Ardi memberi kode dengan tangannya.

”Sudah datang keluargamu Vid?” tanya Heni yang duduk disebelahnya.

”Belum, mungkin mereka terjebak macet.”

”Ini kan Sabtu Vid, gak mungkin macet dari arah darek. Biasanya jalur dari Padang yang macet.”

”Entahlah, apa mungkin longsor lagi di Silaing ya, Hen?”

”Tadi orang tuaku bilang, cuaca bagus di sana. Mereka juga tidak mendapatkan kemacetan di Silaing dan di sepanjang jalan mereka ke mari.”

Percakapannya dengan Heni, kawan se angkatannya yang berasal dari Padang Panjang berhenti begitu saja ketika MC mulai membuka acara dengan menyilahkan semua hadirin untuk berdiri menyambut rombongan Dekan yang mulai memasuki Pendopo. Acara penyerahan Ijazahpun dimulai.

Menit demi menit berlalu, seiring dengan berjalannya satu persatu acara penyerahan ijazah. Acara berlangsung dengan khidmat. Senyum dari wisudawan sesekali mengambang begitu Dekan melemparkan sebuah anekdot dalam sambutannya.

Namun tidak bagi Havid, anekdot itu tidak mampu menutupi keresahan hatinya. Baru saja ia mendapat gelengan kepala dari Ardi begitu ia menoleh ke belakang. Hatinya semakin was-was. Diam-diam di rogohnya saku celananya untuk mengambil handphone, sekedar mencek panggilan tak terjawab atau sms yang masuk. Hatinya kembali kecut begitu melihat tidak satupun tanda-tandanya.

Acara penyerahan ijazah itu terus saja bergulir hingga saatnya Havid berdiri dan berjalan ke depan menuju Dekan untuk pemindahan jambul dan menerima Ijazah dari Ketua Jurusan, begitu namanya dipanggil oleh MC. Hanya senyum dingin yang mengambang dari bibirnya begitu ia bersalaman dengan kedua orang itu. Hingga ia menerima kenang-kenangan dari panitia dan duduk kembali ditempatnya semula.

Keluarga wisudawan kembali berseliweran di sekitar pendopo, begitu Dekan beserta  rombongan meninggalkan pendopo. Acara penyerahan Ijazah baru saja ditutup dengan pembacaan doa. Pembacaan doa yang memancing haru bagi semua hadirin. Setidaknya itu yang dirasakan Havid.

Havid masih terpaku di tempat duduknya. Kecewa, benci, marah, khawatir, gundah, dan cemas. Semua rasa itu campur aduk dalam hatinya. Kecewa, benci dan marah karena keluarganya tidak menyaksikan salah satu hari yang bersejarah dalam hidupnya. Khawatir, gundah dan cemas karena hingga saat ini, belum juga ada kabar dari keluarganya.

Perasaan-perasaan itu tertepis sejenak begitu kawan-kawannya mengajak berfoto bersama. Segera ia bangkit dari duduknya dan mengambil posisi di antara kawan-kawannya. Spanduk ucapan selamat bagi wisudawan yang terpasang di depan pendopo menjadi latar foto kali ini.

Puluhan jepretan telah berlalu, dengan komposisi dan posisi yang berbeda antara satu jepretan dengan jepretan lainnya. Di saat dia tidak dalam posisi di jepret, di saat itulah Handphonenya bergetar. Sebuah panggilan masuk. Bukan nama Ayahnya, melainkan nama Mak Etek yang tertulis di layar.

Segera diangkatnya Handphone tersebut. ”Assalamualaikum, Mak Etek. Apo Kaba?” Suara dari seberang terdengar gaduh. Samar-samar terdengar suara isakan. Berikutnya, Havid hanya bisa mendengar penjelasan dari suara seberang. Tak sepatah katapun terucap dari bibirnya. Dadanya begitu sesak. Perutnya berasa mual, ingin memuntahkan semua isinya. Pandangannya berkunang-kunang. Havid akan roboh andai saja Ardi yang berada tidak jauh darinya tidak segera memegang tangannya.

Berita itu telah meluluh lantakkan hatinya. Merenggangkan persendian tulangnya. Memutus tali asa yang bergelayutan di pohon kehidupan. Memendarkan rasa gembira yang baru saja dicicipinya.

***

Pemuda itu masih saja memandangi empat gundukan tanah di depannya. Di remas-remasnya tanah yang ada digenggamannya. Berderai dan jatuh berserakan di gundukan terdekat dengannya. Dalam gundukan itulah kini ayahnya terbaring kaku. Terdengar lirih suaranya: ”Ayah, baru saja aku akan melangkah ke kehidupanku. Baru saja kan ku mulai mambangkik batang tarandam di keluarga kita. Baru saja kan kuretas satu persatu asa yang pernah kita buat. Baru saja kan ku tunai janji janjiku. Namun, Tuhan berkehendak lain. Maafkan aku, ayah!”

”Ibu, baru saja kan kuganti setiap tetes air susumu, baru saja kan kubalas jerihmu membesarkanku, baru saja kan kutukar waktu-waktu susahmu mendidikku, dengan kebahagiaan. Walaupun kau tak mengharapkan semua itu. Sabarmu tiada duanya. Kasihmu tak pernah tiada mengiringi kehidupanku.”

”Adik-adikku, Kalian masih ingat kelakar kita di tengah ladang dulu? Waktu itu uda lepongi pipi kalian dengan tanah. Kalian marah dan menangis, lalu mengadu ke ayah. Udapun di setrap ayah di rumah. Tapi itu masa kecil kita dahulu. Belakangan, kita jarang lagi berkelakar. Mungkin karena kita jarang bertemu. Tapi ketahuilah adik-adikku, Uda sangat menyayangi kalian berdua. Selamat jalan, adik-adikku, mimpi indah dalam tidur panjang kalian.” Buliran-buliran bening kembali menggumpal di pelupuk matanya.

Lama Havid termenung di pinggir gundukan tanah. Tak terasa matahari mulai menyeruak di balik kerimbunan pepohonan di Marapi. Dari kejauhan terlihat seseorang masuk ke pandam pekuburan dan berjalan ringan ke arahnya. Makin lama makin dekat, hingga ia tahu siapa yang menghampirinya. ”Vid, sudah. Ikhlaskan saja. Kita semua juga akan menuju kesana. Ayo pulang, ada teman SMAmu dulu datang melayat. Dia baru mendapat kabar pagi ini.”

Tak ada jawaban dari Havid. Dia bangkit perlahan. Dipandangnya lagi gundukan tanah itu lamat-lamat. Sesaat kemudian, mamak dan kemenakan itu berjalan beriringan meninggalkan pandam pekuburan.

***

Panas mulai menggerayangi kota Bukittinggi. Menembus udara dingin yang berkuasa semenjak malam hingga pagi hari. Seorang pemuda baru saja turun dari angkot dan berjalan menuju ke sebuah jorong yang terdapat di kaki gunung Marapi. Tangannya memegang koran yang terbit hari itu. Koran yang dibelinya ketika hendak membuka toko di pasar aur kuning.

Selepas membuka toko, ia minta izin ke induk semangnya untuk melayat ke rumah kawan karibnya semasa SMA. Sudah lama ia tidak pergi bertandang ke rumah kawannya itu. Karena kesibukan mereka masing-masing membuat mereka jarang bertemu. Berita utama di koran itu mengusik nuraninya. Menarik-narik empatinya tuk menemui kawan karibnya itu. ”Sebuah Mobil terjun di Silaiang. Semua penumpangnya tewas di tempat.” demikian bunyi berita utama koran tersebut. [yf]

***

Padang, 22 Juni 2010

Penulis adalah Staf Adm di FBSS UNP Padang

Saat ini bergiat di Komunitas Rangkaikata

5 pemikiran pada “Air Mata Marapi

  1. Kisah yang sangat menyedihkan dan mengharukan.
    itu kejadian nya kapan tu om????
    Hidup mati seseorang kita tidak bisa menebak nya. apa yang terjadi itulah takdir kita. tq om cerita nya

  2. Aku & Sebuah Kenangan.

    Oleh Ilham K. Ajam

    Tanjung Pura tempat dahulu yg
    prnah menjadi sumber inspirasiku,
    aku masi ingat saat kita berdua
    goreskan dua Nama di atas Batu
    yg terindah berbentuk meja

    Hari-hari yg dahulu seolah nampak
    tiada arti bagi kita.sejarah yang
    ditinggalkan tiada lebih tiada kurang
    namun hanya menjadi kenangan
    terindah di hati

    Kubiarkan rindu ini gemetar termangu
    di hening senjamu mengejar samarnya
    goresan makna itu. Namun kerinduanku
    padanya smakin membara.

    Sempat terbayangkan disaat ku lacak
    jejak kita yg dulu, lalu ku ukir prasangka
    di sana, kecuali hanya desiran ombak
    dan pepohonan yang jadi saksi bisu!

    Dia telah membawanya pergi, dan sampai
    sekarang masih belum dia kembalikan juga!
    Kutahu Goresan makna kita berdua yg
    nampak di atas batu meja yang berdebu itu
    kian menghilang ditelan ombak!

    Jejak-jejak menghilang ombak
    menghapus tanda yang kita gores dan
    membiarkan sirna begitu saja
    tak ada yang tahu..

  3. OLEH : ILHAM K. AJAM

    NILAI SEBUAH TANGISAN

    Air mata ibarat embun yang menitis, sungguh menyegarkan namun kesegaran itu hanya menjelma setelah melalui malam panjang yang dingin dan gelap gulita, dia juga ibarat hujan yang merenyai, menyejukkan. namun kesejukkan itu hanya mendung yang menduga. Namun dibalik semua ini, apakah nilai sebuah tangisan?

    ANTARA DUA TANGISAN
    Pada saat bersamaan lahirlah seorang bayi dihiasi tangisan .Nyaring berkumandang menghiasi telinga Ibunya. Mereka tersenyum hatinya gembira penawar sakit dan lesu serta berjuang dengan Maut. Lalu Dia mulai dengan sebuah kehidupan baru didunia dengan menghadapi resiko pahit dan kejamnya kehidupan ini, bercucurkan darah dan tetes air mata.

    Air mata dikala ia penyubur hati, penawar duka. Dan juga sebagai penjara kekecewaan yang menghimpit perasaan dan kehidupan ini juga hanyalah umpama air kotor diperlimpahan. Pencinta dunia menangis kerana dunia yang hilang. Perindu akhirat menangis kerana dunia yang datang. Tangis adalah basahan hidup, justeru hidup diawali dengan tangis dan diakhiri dengan tangis maka manusia sentiasa dalam dua tangisan. Sabda Rasulullah s.a.w. “Ada dua titisan yang Allah cintai, pertama titisan darah para Syuhada dan titisan air mata yang jatuh kerana takut kepada Allah.”

    Menangislah,,,, agar senyummu banyak di kemudian hari. Kerana engkau belum tahu nasibmu. Di sana lembaran sejarahmu dibuka satu persatu, menyemarakkan rasa malu yang bertahun-tahun lamanya bergantung kepada syafaat Rasulullah yang dikasihi Tuhan. Bayangkanlah, sungai-sungai yang mengalir itu bebanjiran air mata. Nabi Adam yang menangis untuk bertaubat maka suburlah dan sejahteralah Bumi ini. Ummu Sulaim menangis ketika ditanya : “Kenapa engkau menangis?” “Aku tidak mempunyai anak lagi untuk aku kirimkan ke medan Perang,” jawabnya. Dan menangislah sebagaimana Ghazwan yang tidak sengaja terpandang wanita rupawan. Diharamkan matanya dari memandang ke langit seumur hidup, lalu berkata : “Sesungguhnya engkau mencari kesusahan dengan pandangan itu.”

    Nabi Muhammad bersabda: “Tangisan seorang pendosa lebih Allah cintai daripada tasbih para wali. Oleh karena itu berhati-hatilah dalam tangisan, kerana ada tangisan yang akan mengakibatkan diri kita menangis lebih lama dan ada tangisan yang membawa kebahagiaan untuk selama-lamanya. Seorang pendosa yang menangis kerana dosanya adalah lebih baik daripada seorang ulama yang berangan-angan tentang Surga.

    Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa: “Jika kamu tahu apa yang aku tahu nescaya kamu banyak menangis dan sedikit tertawa. Salafussoleh menangis walaupun banyak beramal, karena takut tidak Diterima ibadatnya.
    Lupakah kita Nabi pernah bersabda : “Siapa yang berbuat dosa dan tertawa, akan dicampakkan ke neraka dalam keadaan menangis.”

    Bergembiralah kita, jika apa yang diidamkan tercapai. Menangislah kita, kalau Yang kita cita-citakan terabai. Nikmat disambut ria, kedukaan menjemput duka.

    Menangislah Sepuas-puasnya, sebelum menangis di sana!!!………….

Tinggalkan Balasan ke Ilham K. Ajam Batalkan balasan